kastil sejati

Kamis, 21 April 2011

बुदाय bugis

MAPPALESSO SAMAJA' BAWA PESAN REKONSILIASI
Jun 30, '08 8:59 AM
for everyone
'Mappalesso Samaja' atau nazar yang juga sering disebut 'tinja' adalah bagian penting dalam kehidupan spiritual dan kepercayaan masyarakat pendukung budaya Galigo.
Dalam naskah Galigo diberitakan bahwa setiap kali hendak mengadakan sebuah kegiatan yang penting, sebaiknya mengucapkan 'samaja' atau nazar sebagai manifestasi dari do'a dan harapan dan permohonan restu dari Dewata SewwaE atau Yang Maha Kuasa untuk suksesnya acara tersebut.
Mappalesso Samaja ini akan kembali diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 2003 sehubungan dengan akan digelarnya Festival Galigo dan Seminar Internasional Sawerigading pada 10 - 14 Desember 2003 di Masamba, Luwu Utara, sekitar 500 kilometer Utara Kota Makassar.
Acara Mappalesso Samaja ini berupa Mappe Saperra atau makan bersama di atas kain saperra (putih) sepanjang satu kilometer.
Ribuan penduduk dari 270 desa di Luwu akan diberi makan pada acara tersebut, kata Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar, Suriadi Mappangara di ruang kerjanya, Sabtu.
Samaja adalah nazar dari Sri Paduka Datuk Luwu Andi Jemma yang pernah diucapkannya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
Mappalesso Samaja diikrarkan Datu Andi Jemma pada malam hari yang gelap gulita, sesaat sebelum Datu Luwu itu bersama permaisurinya dan aparat pemerintah Kerajaan Luwu, terpaksa meninggalkan pantai Cappassalo (Kecamatan Malangke) atas desakan tentara Belanda, dengan menggunakan perahu menuju Sulawesi Tengah, kata Suriadi Mappangara.
Acara Manre Saperra ini akan dimulai dengan 'Mappanynyolo' Rakki' (menghadapkan rakki). Rakki adalah usungan yang dihias, berisi berbagai masakan dan makanan masing-masing pemangku adat dari seluruh wilayah kerajaan Luwu secara bergantian.
Kemudian menghadapkan rakki mereka masing-masing kehadapan Datu Luwu, antara lain untuk menunjukkan kehadiran mereka dalam acara ini. Setiap pemangku adat menyerahkan sepasang ayam panggang betina dan jantan serta sepiring beras ketan empat warna dan sebutir telur.
Sepasang ayam panggang dan sebutir telur ini melambangkan persembahan dan keikutsertaan seluruh kawula di dalam wilayah pemangku adat tersebut. Uniknya dalam acara ini, orang dilarang memakan makanan/masakan dari 'raki'nya sendirinya, oleh sebab itu, pembagian rakki diatur oleh petugas wilayah pemangku adat dari dewan adat Luwu.
"Ini supaya kami tetap hidup damai dan merasa masyarakat dari desa lain itu adalah saudara kami karena mereka telah memakan makanan kami, begitu pun sebaliknya, kami telah makan makanan mereka, sehingga bentrokan atau tawuran tidak akan terjadi," terang Suriadi.
Biasanya, kata Suriadi, dewan adat akan mempertukarkan rakki dari 'palili' yang pernah terlibat sengketa sebagai simbol perdamaian.
Dengan demikian, sengketa diantara mereka diangap telah selesai, karena ada anggapan yang hidup di dalam masyarakat Luwu bahwa apabila seseorang telah meminum air, apalagi kalau sampai makan makanan dari orang lain, maka tidak boleh lagi ada niat buruk di antara mereka.
Pesan rekonsiliasi
Jadi, salah satu pesan yang akan disampaikan oleh acara ini adalah melaksanakan rekonsialisasi atau saling memaafkan dan sekaligus memperbarui atau memperkokoh kembali ikatan persaudaraan antara seluruh kawula dalam kerajaan Luwu.
Sesudah acara Mappanynyolo Rakki, digelar acara 'Mattoana' atau menyuguhkan makanan kepada para hadirin menurut tata cara adat.
Dalam tata cara adat Luwu ini, berlaku ketentuan bahwa bila Datuk Luwu telah menerima baik segala tata cara perlakuan terhadap dirinya, maka tak seorang pun yang boleh memprotes tata cara perlakuan terhadap dirinya.
Selain itu, ada ketentuan bahwa Datuk Luwu lah yang paling terakhir disuguhi makanan, tapi Datuk Luwu itu pualah yang paling pertama menyantap makanan yang disuguhkan dan tidak seorangpun dibolehkan berhenti makan sebelum Datuk Luwu selesai bersantap.
Karena itu, Datuk Luwu diharapkan makan selama mungkin supaya memberi kesempatan kepada semua hadirin bersantap sepuasnya.
Setelah hidangan Datuk Luwu selesai dihidangkan oleh 12 orang pelayan dan kemudian Datuk mulai mencicipi santapan itu, maka acara 'manre saperra' (makan secara bersama) dimulai.
Saperra adalah kain putih yang dibentangkan sebagai alas makanan yang disantap bersama yang melambangkan ikatan batin yang suci antara Datuk Luwu dengan seluruh rakyatnya.
Selanjutnya, para tamu dan hadirin akan dihibur dengan tarian istana yang disebut "penjaga bone balla," yang berarti penjaga isi rumah raja/bangsawan. Jadi, penjaga bone balla artinya tarian-tarian yang hanya bisa dilakukan oleh kaum bangsawan (keluarga raja).
Setelah menikmati pertunjukan tari "penjaga bone balla" ini, maka mulailah tarian 'sanjo' yang dilakukan oleh seorang penari secara bergantian.
Sanjo berarti melayang-layang sambil menyambar kesana-kemari seperti seekor burung elang yang sedang terbang di udara bebas, seakan-akan memamerkan keperkasaan dirinya.
Dengan dipertunjukkannya tarian ini ini, maka acara resmi dinyatakan telah berakhir dan para tamu sudah boleh minta diri untuk meninggalkan ruangan.
Selanjutnya pertunjukan tari sajo ini berlangsung informal dalam suasana kekeluargaan. Anggota keluarga yang hadir silih berganti memberi hadiah dalam berbagai bentuk, kadang berupa emas, uang dan sebidang tanah.
Acara dalam suasana kekeluargaan ini, biasanya berlangsung hingga pagi hari yang dinyatakan berakhir setelah ditampilkannya tarian fajar menyingsing.
Festival La Galigo
Mappalesso Samaja ini akan mengawali sebuah rangkaian kegiatan budaya akbar di Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan yakni Festival Galigo dan Seminar Internasional Sawerigading yang akan berangsung 10 - 14 Desember 2003.
Wakil Presiden Hamzah Haz dijadwalkan membuka acara tersebut, kata Lebba, Ketua Panitia Acara festival dan seminar tersebut.
Selain Manre Sappera, berbagai atraksi seni dan budaya lainnya akan digelar seperti pengambilan air suci dari sumur keramat, pelantikan 250 bissu (pendeta kuno bugis) serta berbagai tarian, teater, karya sastra dan musuk/lagu tradisional dari berbagai kabupaten dan kecamatan di daerah Luwu.
Sedangkan pada acara seminar internasional Sawerigading, sudah tercatat 600 peserta dari berbagai tempat di Indonesia dan negara di dunia, dengan 34 pemateri yang umumnya adalah budayawan, antropolog dan peneliti sastra. Delapan pemateri diantaranya berasal dari Amerika Serikat, Jepang, Australia, Belanda dan Malaysia.
La Galigo adalah sebuah karya sastra terpanjang di dunia yang terdiri atas 30.000 bait dan terpilah dalam 12 jilid (6000 halaman) folio. Karya ini lebih panjang dari kisah Mahabrata dan Ullyses, maha karya Homerus.
La Galigo telah ditulis ulang oleh Colliq Pujie Retna Kencana Arung Pancana Toa atas permintaan B.F.Matthes.
Dalam karya La Galigo, dikenal seorang tokoh bernama Sawerigading yang kesohor di jazirah Sulawesi, Kalimantan, Bima dan Sumbawa bahkan sampai ke mancanegara.
Sawerigading adalah ayah dari tokoh La Galigo yang menjadi judul karya ini sebab sepak terjangnya begitu mendominasi jalan cerita maha karya sastra ini. (U/PK-RS/MKS1/B/J006) 7/12/:3 16:36 0712031638 NNNN

Sinopsis Tari Pa'jaga
Tari Pajaga dibagi dalam dua (2) kelompok :
1. Tari Pajaga Bone Balla
2. Tari Pajaga lili
Tari Pajaga Bone Balla biasanya dimainkan oleh anak-anak bangsawan di istana Kedatuan Luwu, apabila Raja atau Datu/Pajung melaksanakan sebuah pesta untuk menghibur para tamu yang datang dari kerajaan lain.
Tari Pajaga Bone Balla ada dua belas (12) jenis, tetapi hanya tinggal enam (6) jenis yang masih bisa dilestarikan seperti .
1. Tari Pawinru
2. Tari Sulessana
3. Tari Ininnawa tarana`e
4. Tari ininnawa mapatakko
5. Tari Ininnawa masagala
6. Upanguju.
Tari Pajaga Bone Balla gerakannya berbeda dengan tarian biasa, dimana gerakan tangan kanan selalu diikuti dengan gerakan kaki kanan demikian pula sebalikna. Irama lagu yang mengalun sangat panjang dan fluktuasi tidak terduga -duga dan samar. Begitu pula irama gendang pengiring sebagai aba-aba setiap gerakan dengan siklus yang panjang dan rumit . Sehingga apabila memainkan tarian ini membutuhkan kosentrasi yang sangat tinggi, memusatkan perhatian untuk mengikuti irama lagu dan gendang yang panjang rumit dan halus.
Tari ini dianggap sakral dan gerakannya seperti gerakan permainan gasing, semakin kelihatan para penari tidak bergerak maka semakin sempurnalah gerakannya, sehingga anak-anak bangsawan dahulu kala menggunakan tari Pajaga ini sebagai alat seni meditasi untuk mempesiapkan kepribadian mereka kelak sebagai tokoh panutan yang memiliki kemampuan mengendalikan diri serta memiliki kepekaan jiwa yang halus.
Berikut ini tari yang dipentaskan berjudul Sulessana, Yang secara lengkap syairnya sebagai berikut :
Sulessana na pabbongngo`
Panrena pakawewe
Ri mannaungengnge artinya:
Orang yang paling bijaksana akan terkesima
Dan orang paling ahlipun
Akan selalu merasa kerdil dihadapan sang pencipta.

Ininnawa tarana`e
Tinulu napekkua
Pewangngi mellena , artinya
Pribadi yang senantiasa diasuh
Dengan kepatuhan yang tulus
Menyebabkan timbulnya
Rasa cinta sang kekasih.


Tari Pajaga lili dimainkan oleh anak-anak muda di daerah atau wilayah yang tersebar di kerajaan luwu. Tari ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi geografis dan sejarah sosial budaya masing-masing wilayah tersebut. Seperti Tarian dari Ulusalu, Tarian dari Rongkong, Tarian dari Orang Pammona, Tarian dari orang Padoe, Tarian dari Orang Seko dan lain-lain.
Tarian ini dapat dijumpai pada masing-masing daerah tersebut.

3 komentar: